Bogor – Kampung Urug merupakan salah satu desa adat yang memiliki sejarah sangat panjang dengan tradisi dan adat luhur berusia lebih dari 450 tahun. Kampung yang berada di Kecamatan Sukajaya ini seluruh masyarakat yang berpegang teguh pada tradisi dan keteladanan Sunda dan menganggap bahwa mereka merupakan keturunan Prabu Siliwangi, raja kerajaan Pajajaran, Jawa Barat.
Tak heran, jika di Kampung Urug memiliki pola hidup yang sangat kental dengan kelompok masyarakat. Sehingga memerlukan seseorang yang dituakan atau pemimpin. Pemimpin Kampung Urug ini merupakan yang ditunjuk masyarakat setempat untuk kebutuhan tertentu. Selanjutnya, mereka disebut dengan Abah (bapa) atau Olot (sepuh).
Pengurus Kampung Urug saat ini, Abah Ukat, menjelaskan konstruksi bangunan rumah tradisional yang ada di Kampung Urug memiliki model sambungan kayu yang sama dengan sambungan kayu pada salah satu bangunan di Cirebon dan ini merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.
“Rumah di Kampung Urug mempunyai karakter hampir sama dengan rumah adat Sunda, yakni berkolong dan terdiri dari tiga ruangan. Ketiganya masing-masing ruangan depan, tengah, dan belakang,” ujarnya, Senin (28/7).
Ditambahkan Ukat, bagian depan rumah berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Bagian tengah rumah merupakan tempat keluarga berkegiatan dan berkumpul dan kamar tidur penghuni rumah. Sementara bagian belakang rumah adalah dapur dan goah tempat penyimpanan persediaan beras dan bahan makanan. Gaya arsitektur rumah mengadaptasi tradisional Sunda. Bagian yang banyak digunakan untuk membuat rumah terdiri dari tatapakan, yaitu pondasi yang menggunakan batu alam utuh agar kuat menopang bobot bangunan.
Bagian yang lebih tinggi disebut dengan golodog, yaitu tepas yang terbuat dari kayu yang disusun berundak. Bagian dinding terbuat dari anyaman bambu. Sementara atap, disebut dengan hateup, terbuat dari anyaman daun kiray. Lantai rumah panggung atau palupuh dibuat dari bambu yang dirangkai menjadi belahan kecil dan panjang. Adapun bagian langit-langit rumah berbentuk persegi panjang yang dibuat dari kayu. Untuk jendela rumah panggung dibuat dari kisi-kisi bilah kayu atau bambu.
“Asal-usul Kampung adat Urug, berdasarkan latar belakang sejarah, memiliki beberapa versi. Umumnya, kata Urug yang dijadikan nama kampung berasal dari kata ‘Guru’, yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan,” jelasnya.
Kata “Guru” berdasarkan etimologi rakyat atau kirata basa adalah akronim dari digugu ditiru. Jadi seorang guru haruslah “digugu dan “ditiru”, artinya dipatuhi dan diteladani segala pengajaran dan petuahnya.
Seperti diketahui, Kampung Urug dibagi menjadi tiga wilayah, yakni Urug Tonggoh (atas), Urug Tengah, dan Urug Lebak (bawah). Masing-masing wilayah dipimpin oleh satu olot yang punya tugas berbeda. Pertama, Olot Tonggoh bertugas memimpin kegiatan yang berkaitan adat dan ritual kampung urug. Ritual dan upacara adat seperti ritual syukuran, menanam padi dan kematian. Olot Tonggoh juga bertugas sebagai juru bicara apabila ada tamu dari luar Kampung Urug yang ingin meneliti kampung, sejarah dan budaya.
Sementara Olot Tengah, mempunyai tugas memberi petunjuk, mengatur dan mengerahkan masyarakat dalam sebuah kegiatan, misalnya kegiatan adat dan ritual. Sedangkan, Olot Lebak mempunyai tugas memimpin seluruh kegiatan adat, mengendalikan dan mempertahankan adat Kampung Urug. Ia adalah sesepuh kampung yang paling dituakan atau dinamakan dengan istilah Pananggeuhan (tempat bersandar).
Selain olot, ada juga punduh, kuncen dan lebe. Ketiganya adalah perangkat rakyat yang membantu kerja para olot Kampung adat Urug. Punduh, misalnya, adalah penyambung masyarakat dengan olot. Ia dipilih berdasarkan garis keturunan pendahulunya.
Berbagai masalah adat dan sosial diselesaikan melalui musyawarah di bangunan bernama Gedong Ageung. Bangunan ini juga sering kali berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Di depan Gedong Ageung terdapat rumah panggung yang tinggi bernama Gedong Luhur atau Gedong Paniisan. Tempat ini digunakan sebagai tempat bersemedi tetua adat yang disebut Abah Kolot. Mayoritas penduduk kampung Urug ini adalah bertani padi. Hasil panennya harus disimpan di leuit (lumbung) dan tak boleh diambil sembarangan.
“Setiap tahun, kami rutin mengadakan seren taun, yakni ritual adat sebagai wujud syukur sekaligus doa untuk kemakmuran di bidang pertanian. Selain terdapat salametan ngabuli untuk memperingati tutup tahun dan salametan Maulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW,” tuturnya.
Akses untuk menuju Kampung Urug di Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor ini cukup berat karena berbelok-belok, naik turun mengikuti lereng bukit dengan badan jalan yang sempit. Sepanjang jalan, selain ada yang sudah beraspal, namun sebagian besar masih rusak berat. Padahal ketika sampai di Kampung Urug, wisatawan dapat melakukan aktivitas seperti menjelajahi rumah adat, mengikuti upacara adat, belajar kerajinan tradisional, menikmati alam sekitar, mengikuti kegiatan pertanian, mencicipi kuliner tradisional, belajar seni dan budaya sunda, maupun berkemah dan trekking. (*)